Isnin, 13 April 2015

PENGALAMAN MENGHARUKAN SEORANG ULAMA DENGAN PEROKOK TEGAR



Dikisahkan oleh Syaikh Dr. Muhammad al-‘Arifi
Aku pernah diundang di malam Ramadhan dua tahun yang lalu untuk menjadi pembicara dalam satu siaran live di salah satu siaran TV. Siarannya tentang ibadah pada bulan Ramadhan. Siaran itu dilakukan di Makkah al-Mukarramah pada satu bilik di salah satu hotel yang boleh melihat di atas Masjidil al-Haram.
Ketika itu, kami berbicara tentang Ramadhan. Para penonton television boleh melihat di belakang kami pemandangan orang-orang yang umrah dan thawaf secara langsung.

Kala itu pemandangannya sungguh mengagumkan dan mengharukan, membuat pembicaraan pun semakin berkesan. Hingga pembawa acara menjadi lembut hatinya, dan menangis di tengah halaqah itu. Sungguh suasana itu adalah suasana keimanan, kecuali salah seorang kameramen. Dia memegang kamera dengan satu tangan, dan tangan yang kedua memegang rokok. Seakan-akan tidak ada satu waktu yang tersia-siakan dari malam bulan Ramadhan kecuali dia kenyangkan paru-parunya dengan asap rokok.

Tamatnya program, kameramen itu pun mendatangiku –sementara rokok masih ada di tangannya- sambil dia mengucapkan terima kasih dan memuji. Maka kukeraskan genggaman tanganku dan kukatakan, ‘Anda juga, saya berterima kasih atas kesudian anda dalam menyuting acara keagamaan ini. Saya memiliki satu kalimat, barangkali Anda mahu menerimanya.’
 
Dia pun menjawab, ‘Silahkan… silahkan. 
Kukatakan, ‘Rokok”
namun dia memutus pembicaraanku lalu berkata, ‘Jangan menasihatiku… demi Allah, tidak ada faidahnya wahai syaikh.’  
Kukatakan, ‘Baik, dengarkan saya… Anda tahu bahwa rokok haram, dan Allah berfirman…’ 
Dia pun memotong pembicaraanku sekali lagi, ‘Wahai Syaikh, janganlah menyia-nyiakan waktu Anda… saya telah merokok selama 40 tahun… rokok telah mengalir dalam urat nadi saya… tidak ada faedah.. 
Kukatakan, ‘Apa yang ada faidahnya?’  
Dia pun merasa tidak enak dariku lalu berkata, ‘Do’akanlah saya… do’akanlah saya.’ Maka akupun memegang tangannya seraya berkata, ‘Mari bersama saya..’ Kukatakan, ‘Mari kita melihat kepada Ka’bah.’

Maka kamipun berdiri di sisi jendela yang boleh melihat di atas al-Haram. Dan ternyata setiap jengkal dipenuhi dengan manusia. Ada yang ruku’, sujud, yang sedang umrah, dan sedang menangis. Sungguh pemandangan yang sangat mengesankan.

Kukatakan, ‘Apakah Anda melihat mereka?’
Dia menjawab, ‘Ya.’
Kukatakan, ‘Mereka datang dari setiap tempat, yang putih, yang hitam… orang Arab dan ‘ajam… yang kaya dan miskin… semuanya berdo’a kepada Allah agar menerima ibadah mereka dan mengampuni mereka…’
Dia menjawab, ‘Benar… benar…’
Kukatakan, ‘Tidakkah Anda menginginkan Allah memberikan kepada Anda apa yang Dia berikan kepada mereka?’
Dia menjawab, ‘Ya… tentu saja.’
Kukatakan, ‘Angkatlah tangan Anda, saya akan berdo’a untuk Anda… dan aminilah do’a saya.’
Akupun mengangkat kedua tanganku lalu kukatakan, ‘Ya Allah, ampunilah dia…’
Dia berkata, ‘Aamiin.’
Aku berdo’a, ‘Ya Allah, angkatlah derajatnya, dan kumpulkanlah dia bersama dengan orang-orang yang dikasihinya di dalam sorga… ya Allah…’
Dan tidak henti-hentinya aku berdo’a hingga hatinya lembut dan menangis… seraya mengulang-ulang, ‘Aamiin… aamiin…’
Tatkala aku ingin menutup do’a kukatakan, ‘Ya Allah, jika dia meninggalkan rokok, maka kabulkanlah do’a ini, jika tidak, maka haramkan dia atas terkabulnya do’a ini.’
Maka pecahlah tangisan laki-laki tersebut, lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan keluar dari bilik tersebut.
Berbulan-bulan telah berlalu, akupun diundang lagi ke studio television tersebut untuk melakukan siaran langsung.
Saat aku masuk ke bangunan tersebut, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang nampak taat beragama menemuiku, kemudian dia mengucapkan salam dengan hangat, lalu mencium kepalaku, dan merendah meraih kedua tanganku untuk menciumnya, dan sungguh dia sangat terkesan.
Kukatakan kepadanya, ‘Mudah-mudahan Allah mensyukuri kelembutan dan adab Anda… saya sungguh menghargai kecintaan Anda… akan tetapi maaf, saya belum mengenal Anda…’
Maka dia berkata, ‘Apakah Anda masih ingat dengan kameramen yang telah Anda nasihati untuk meninggalkan rokok dua tahun yang lalu.’
Kujawab, ‘Ya…’
Dia berkata, ‘Sayalah dia… demi Allah wahai syaikh… sesungguhnya aku tidak pernah meletakkan rokok di mulutku sejak saat itu.’ Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.(AR)*

Sumber: http://qiblati.com/selamat-tinggal-rokok.htm